PENTINGNYA MUSYAWARAH BAGI GURU
Guru MGMP
Sebagaimana
kita ketahui, MGMP merupakan suatu forum atau wadah profesional guru
mata pelajaran yang berada pada suatu wilayah
kabupaten/kota/kecamatan/sanggar/gugus sekolah. Ruang lingkupnya
meliputi guru mata pelajaran pada SMA Negeri dan Swasta, baik yang
berstatus PNS maupun Swasta dan atau guru tidak tetap/honorarium.
Prinsip kerjanya adalah cerminan kegiatan "dari, oleh, dan untuk guru"
dari semua sekolah. Atas dasar ini, maka MGMP merupakan organisasi
nonstruktural yang bersifat mandiri, berasaskan kekeluargaan, dan tidak
mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga lain.
B. Pofesionalisme Guru
Kemerosotan
pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian
kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan
adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan
kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994, kemudian
mengalami perubahan lagi dengan nama Kurikulum 2004 dan yang paling up to date lagi sekarang kita mengenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Nasanius
(1998:101) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan
oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan
keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran
guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor
besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor
eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana,
serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996:45)
Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai
utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat
mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa
Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup
banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan.
Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang
keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan
menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin,
2000:24).
Banyak
faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru,
sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan
adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi
tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan. Para ahli mengatakan bahwa
abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan
utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995:90) ada 10
kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu;
(1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi,
(2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi,
(3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia,
(4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang,
(5) dari sentralisasi ke desentralisasi,
(6) dari bantuan institusional ke bantuan diri,
(7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris,
(8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan,
(9) dari utara ke selatan, dan
(10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.
Pendidikan
di abad ini pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang
modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga
pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan
keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar,
pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah,
penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak
kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan
keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan,
penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama
dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian
karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang
amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki
keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai
megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai
jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai
aspeknya.
Dengan
memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan
pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas
dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat
kompetitif.
Arifin (2000:25-26) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai;
(1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
(2) penguasaan
kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu
pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep
belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan
bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis
pendidikan masyarakat Indonesia;
(3) pengembangan
kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi
yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan
praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan
disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena
pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan
adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma
baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21
yaitu;
(1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
(2) penguasaan ilmu yang kuat;
(3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan
(4) pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat
aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan
dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan
profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah
(1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA;
(2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru;
(3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan;
(4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik;
(5) pelaksanaan supervisi; (
6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM);
(7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match;
(8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang;
(9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru;
(10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan
(11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila
syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah
peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal
ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991:90) bahwa pemenuhan
persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula
sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam
menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation
learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru
memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator,
komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator,
dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000:25-26).
Pengembangan
profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru
memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang
mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu
peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan
kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan
peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek
intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu
menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda
memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap
eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Faktor-faktor
Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional
kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik
institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah
maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan
peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang
kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang
tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik
itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam
sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.
Guru
sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati
nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun
karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka
cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru
selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang
mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi
atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama
sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan
membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah
memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah
menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali
mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu
dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
dirinya.
Selain
faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme
guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak
menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru
yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan
diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana
tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya
perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi
tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan
banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4)
kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru
tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen
di perguruan tinggi.
Akadum (1999:137:1-2) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru;
(1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
(2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
(3) pengakuan
terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari
pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari
masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan
kependidikan,
(4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru,
(5) masih
belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara
makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI
bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi
pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun
demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan
profesionalisme para anggotanya.
Dengan
melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme
guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan
profesi guru.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Profesionalisasi
harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini,
pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran,
pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan
masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi,
sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara
bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk
guru.
Dari
beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang
paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya
yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program
apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah,
jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan
tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di
negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena
penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) ”
Teacher in England and Wales : Profesionalisme in Practice
” dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan
profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru
diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah
lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat
menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di
Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda.
Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya
terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi
lainnya seperti dokter, jaksa, dan lain-lain.
C. Peranan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Meningkatkan Kemampuan Guru Menyusun Program Pembelajaran
Dalam
meningkatkan kemampuan guru pendidikan kewarganegaraan, maka di dalam
forum MGMP ini di buatlah suatu program pembelajaran sebelum proses
belajar mengajar berlangsung pada awal smester. Tujuannya adalah
memberikan gambaran kepada guru tentang materi dan waktu pembelajaran
yang akan dilaksanakan selama satu tahun ke dapan. Adapun program
pembelejran itu meliputi :
a. Penyusunan Sylabus
1. Pengertian
Silabus
adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata
pelajaran/tema tertentu yang men-cakup standar kompetensi, kompe-tensi
dasar, materi pokok/pem-belajaran, kegiatan pembelajaran, indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan
sumber belajar.
Dalam penyusunan sylabus ada beberapa tahap yang diperlukan yaitu :
1. Prinsip Pengembangan, yang terdiri atas :
a. Ilmiah
b. Relevan
c. Sistematis
d. Konsisten
e. Memadai
f. Aktual dan Kontekstual
g. Fleksibel
h. Menyeluruh
2. Unit Waktu
a. Silabus
mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang
disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di
tingkat satuan pendidikan.
b. Penyusunan
silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester, per
tahun, dan alokasi waktu mata pelajaran lain yang sekelompok.
c. Implementasi
pembelajaran per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran dengan
alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum. Bagi SMK/MAK menggunakan penggalan silabus berdasarkan satuan kompetensi.
3. Indikator
a. Indikator
merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh
perubahan perilaku yang dapat diukur/diobservasi yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
b. Setiap KD dikembangkan menjadi beberapa indicator (lebih dari dua)
c. Indikator menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur dan/atau diobservasi
d. Tingkat kata kerja dalam indikator lebih rendah atau setara dengan kata kerja dalam KD maupun SK
e. Prinsip pengembangan indikator adalah Urgensi, Kontinuitas, Relevansi dan Kontekstual
f. Keseluruhan indicator dalam satu KD merupakan tanda-tanda, prilaku, dan lain-lain untuk pencapaian kompetensi yang merupakan kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten.
4. Kegiatan Pembelajaran
a. Kegiatan
pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang
melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik,
peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar.
b. Pengalaman
belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik.
c. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
5. Materi Pembelajaran
a. Kegiatan
pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang
melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik,
peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar.
b. Pengalaman
belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik.
c. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
6. Penilaian
a. Penilaian
merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan
menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi
informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
b. Penilaian pencapaian kompetensi dasar pe-serta didik dilakukan berdasarkan indikator.
c. Penilaian
dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis
maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil
karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan
penilaian diri.
b. Penyusunan Program Semester
Program semester disusun oleh
setiap guru bidang studi sebelum kegiatan belajar mengajar dilakukan
yang berguna untuk guru menargetkan deadline-deadline pembelajaran.
Program semester disusun dengan menyesuaikan keaktifan belajar di
sekolah selama setahun berdasarkan kalender akademik sekolah.
Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
1. Pengertian
Rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan
prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu
kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam
silabus. Lingkup Rencana
Pembelajaran paling luas mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang
terdiri atas 1 (satu) indikator atau beberapa indikator untuk 1 (satu)
kali pertemuan atau lebih.
2. Landasan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 20 dijelaskan bahwa perencanaan
proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil
belajar.
3. Komponen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
a. Tujuan Pembelajaran
b. Materi Ajar
c. Metode pembelajaran
d. Sumber Belajar
e. Penilaian Hasil Belajar